Selasa, 17 Juni 2025 WIB
Pro Jurnalis Siber

Sejarah Kolonialisme & Sistem HGU di Sumatera Timur Tinggalkan Luka Struktural

Administrator Administrator
Sejarah Kolonialisme & Sistem HGU di Sumatera Timur Tinggalkan Luka Struktural

17MERDEKA|| Kemitraan kesultanan-kesultanan Melayu (Deli, Serdang, Langkat, Asahan) dengan pemerintah kolonial Belanda dalam alokasi lahan perkebunan skala besar menciptakan ketimpangan penguasaan tanah dan eksploitasi tenaga kerja.

Revolusi Sosial 1946 yang mengguncang Sumatera Timur, dan secara brutal menghancurkan struktur kesultanan, alih-alih membawa keadilan agraria yang sesungguhnya, justru melahirkan kekosongan kekuasaan yang kemudian diisi oleh negara dengan pola sentralistis.

Alih kelola lahan HGU pasca-revolusi kepada BUMN seperti PTPN, tanpa mekanisme redistribusi yang adil dan partisipatif, melanjutkan marginalisasi masyarakat lokal.

Keputusan Menteri ATR/BPN tahun 2023 yang menyatakan ribuan hektare eks HGU PTPN di Sumut sebagai "tanah negara bebas" membuka peluang baru, namun juga menyimpan potensi reproduksi ketidakadilan jika proses alokasinya tidak transparan dan partisipatif.

Pertanyaannya krusial: "bebas" dari siapa dan untuk siapa? Apakah ini benar-benar membebaskan masyarakat dari belenggu ketidakadilan agraria, atau hanya memindahkan aset dari satu rezim penguasa ke rezim penguasa lainnya?

Kontras dengan Sumatera Timur, Kesultanan Yogyakarta pascakemerdekaan justru mendapatkan pengakuan dan penguatan kekuasaan atas tanah melalui UU Keistimewaan DIY.

Negara, dalam konteks stabilitas politik, memilih untuk melanggengkan kekuasaan tradisional.Usulan Solo menjadi Daerah Istimewa semakin memperlihatkan disparitas perlakuan negara terhadap entitas-entitas dengan warisan kekuasaan lokal.

Mengapa Sumatera Timur "diputus total" dari akar sejarah kekuasaannya terkait tanah, sementara Yogyakarta dan kini Solo justru dirangkul dan diberi keistimewaan?

Ini mengindikasikan adanya pertimbangan politik dan kekuasaan yang selektif dalam mengakomodasi warisan sejarah.

2. Perspektif Politik: Oligarki, Patron-Klien, dan Kontestasi Kekuasaan

Dalam konteks politik, kehancuran struktur kesultanan di Sumatera Timur menciptakan ruang bagi munculnya aktor-aktor informal yang kemudian terintegrasi dalam jejaring kekuasaan yang lebih luas.

Premanisme, baik dalam wujud blue collar crime maupun yang tersembunyi di balik white collar crime, menjadi alat bagi elite politik dan aparat negara untuk mengamankan kepentingan ekonomi dan politik mereka, terutama terkait penguasaan sumber daya alam seperti tanah eks-HGU.

Relasi patron-klien yang melibatkan kelompok preman dan ormas bersenjata menjadi mekanisme efektif untuk melakukan penggusuran, intimidasi, dan kontrol sosial.

Status "tanah negara bebas" di Sumatera Utara berpotensi menjadi arena baru pertarungan politik dan ekonomi, di mana kelompok-kelompok dengan akses kekuasaan dan koneksi politik akan berlomba untuk mengamankan aset tersebut.

Tanpa pengawasan dan mekanisme alokasi yang ketat, tanah ini rawan jatuh ke tangan oligarki baru.

Di sisi lain, keistimewaan Yogyakarta memberikan legitimasi formal kepada kekuasaan tradisional atas tanah, yang dalam praktiknya juga dapat membuka celah bagi praktik white collar crime melalui penyewaan lahan keraton untuk kepentingan bisnis tanpa akuntabilitas publik yang memadai.

Usulan Daerah Istimewa untuk Solo memperlihatkan bagaimana legitimasi kekuasaan lokal dapat direproduksi melalui jalur formal, sebuah jalur yang tertutup bagi warisan kekuasaan di Sumatera Timur pasca-1946.

3. Perspektif Ekonomi: Ketimpangan Akses dan Ekonomi Informal

Dari sudut pandang ekonomi, penghancuran struktur kesultanan di Sumatera Timur dan pengambilalihan lahan HGU oleh negara tanpa redistribusi yang adil telah melanggengkan ketimpangan akses terhadap sumber daya ekonomi utama, yaitu tanah.

Masyarakat lokal yang kehilangan akses ke tanah pertanian terpaksa mencari nafkah di sektor informal, termasuk menjadi bagian dari jaringan premanisme untuk bertahan hidup.

Pengumuman status "tanah negara bebas" di Sumatera Utara menghadirkan dilema ekonomi.

Jika alokasi tanah ini tidak dikelola dengan transparan dan partisipatif, manfaatnya kemungkinan besar hanya akan dinikmati oleh segelintir elite dengan modal dan koneksi politik, sementara masyarakat lokal tetap terpinggirkan.

Potensi ekonomi dari tanah ini tidak akan maksimal jika hanya menjadi objek spekulasi dan transaksi kekuasaan.

Di Yogyakarta, meskipun memiliki kontrol atas tanah, tantangan ekonomi tetap ada dalam hal transparansi dan akuntabilitas pemanfaatan lahan keraton untuk kepentingan ekonomi.

Potensi keuntungan ekonomi harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial dan pelestarian nilai-nilai budaya. Usulan Daerah Istimewa untuk Solo juga perlu mempertimbangkan implikasi ekonominya, termasuk bagaimana pengelolaan sumber daya dan investasi akan dilakukan dengan status keistimewaan yang baru.

4. Perspektif Sosial Budaya: Trauma Kolektif, Legitimasi Kekuasaan, dan Ketiadaan Perlindungan

Dari segi sosial budaya, Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur meninggalkan trauma kolektif dan menghancurkan tatanan sosial yang ada.

Hilangnya struktur kesultanan yang sebelumnya menjadi simbol otoritas dan perlindungan (meskipun dengan segala problematikanya) menciptakan kekosongan yang kemudian diisi oleh kekuasaan informal dan praktik premanisme sebagai mekanisme kontrol sosial alternatif.

Narasi tentang "tanah negara bebas" di Sumatera Utara perlu diimbangi dengan pemahaman akan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang mungkin memiliki klaim historis atas tanah tersebut.

Proses alokasi yang tidak memperhatikan aspek sosial budaya dan sejarah lokal berpotensi menimbulkan konflik sosial baru.

Kontras dengan itu, Yogyakarta memiliki modal sosial budaya yang kuat dengan adanya Kesultanan yang dihormati dan dianggap sebagai penjaga tradisi dan identitas.

Keistimewaan yang diberikan negara memperkuat legitimasi kekuasaan tradisional ini.

Usulan Daerah Istimewa untuk Solo juga didasarkan pada pengakuan terhadap warisan budaya dan sejarah lokal.

Perbedaan perlakuan ini menunjukkan bagaimana faktor sosial budaya dan sejarah lokal menjadi pertimbangan penting dalam politik pengakuan negara.

KESIMPULAN KRITIS :

Fenomena premanisme dan kekuasaan informal di Indonesia, khususnya di Sumatera Timur, tidak dapat dipisahkan dari warisan ketidakadilan struktural yang berakar pada sejarah kolonialisme dan pasca-revolusi.

Penghancuran total struktur kesultanan di Sumatera Timur pada tahun 1946, tanpa diikuti dengan reformasi agraria yang adil, menciptakan kondisi yang subur bagi munculnya kekuasaan informal dan praktik premanisme.

Kontras dengan keistimewaan yang diberikan kepada Yogyakarta dan potensi Daerah Istimewa untuk Solo menyoroti adanya disparitas perlakuan negara terhadap warisan kekuasaan lokal.

Keputusan terkait status "tanah negara bebas" di Sumatera Utara menjadi titik krusial yang dapat memperpetuasikan ketidakadilan atau menjadi momentum untuk reformasi agraria yang sesungguhnya, tergantung pada mekanisme alokasi dan partisipasi masyarakat.

Untuk mengatasi premanisme dan kekuasaan informal secara fundamental, negara perlu melakukan koreksi historis dengan menyelesaikan sengketa agraria secara adil, memutus rantai relasi politik-premanisme, menerapkan reformasi ekonomi yang inklusif, dan membangun supremasi hukum yang setara bagi seluruh warga negara, tanpa memandang latar belakang sejarah kekuasaan lokal.

Belajar dari kasus Yogyakarta dan potensi Solo, negara perlu mempertimbangkan secara lebih adil warisan sejarah dan sosial budaya dalam merumuskan kebijakan agraria dan tata kelola kekuasaan di berbagai daerah.

Penulis : Drs.Shohibul Anshor Siregar SM,i

Wartawan 17merdeka.com adalah yang namanya tercantum di susunan Redaksi. Segala proses peliputan yang diterbitkan oleh media online 17merdeka.com harus menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers. Hubungi kami: [email protected]
Komentar
Berita Terkini